MK Kabulkan Penarikan Gugatan UU TNI, Ini Penjelasannya

Kantor Mk
Kantor Mahkamah Konstitusi, fhoto.Net.

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengabulkan permohonan pencabutan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang diajukan oleh Kolonel Sus Mhd. Halkis, Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan).

Putusan ini dibacakan langsung oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno pada Rabu, 14 Mei 2025. Dengan demikian, proses pengujian terhadap pasal-pasal dalam UU TNI dinyatakan dihentikan dan tidak berlanjut ke tahap pembuktian.

Gugatan Ditarik Usai UU TNI Direvisi

Permohonan uji materi ini awalnya diajukan karena Halkis menilai terdapat sejumlah pasal dalam UU TNI lama yang membatasi hak-hak prajurit sebagai warga negara. Namun, seiring dengan disahkannya UU TNI terbaru, yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025, objek yang digugat dinyatakan kehilangan relevansi (lost object).

“Permohonan dicabut karena UU yang menjadi objek gugatan telah dicabut dan diganti dengan yang baru. Sehingga tidak ada dasar hukum untuk melanjutkan permohonan ini,” ujar Halkis dalam sidang pada Jumat, 25 Mei 2025.

Selain UU TNI, Mahkamah Konstitusi juga mengabulkan pencabutan dua perkara lainnya, yaitu permohonan uji materi terhadap UU BUMN (Perkara No. 24/PUU-XXIII/2025) dan UU Kejaksaan (Perkara No. 26/PUU-XXIII/2025).

“Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan serupa terhadap undang-undang yang telah dicabut,” tegas Ketua MK Suhartoyo dalam pembacaan putusan.

Sorotan terhadap Pasal-pasal Pembatasan Hak Prajurit

Dalam permohonan sebelumnya, Halkis menyoroti sejumlah ketentuan dalam UU TNI yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, terutama terkait pembatasan hak-hak prajurit.

Salah satu pasal yang dianggap problematik adalah Pasal 2 huruf d yang mendefinisikan prajurit profesional sebagai mereka yang tidak berpolitik dan tidak berbisnis. Menurut Halkis, definisi ini terlalu sempit dan dapat menimbulkan salah tafsir.

“Profesionalisme militer seharusnya ditekankan pada netralitas, kompetensi, dan perlindungan terhadap hak-hak ekonomi prajurit. Bukan sekadar melarang kegiatan politik dan bisnis,” jelasnya.

Pasal lain yang juga dipersoalkan adalah Pasal 39 ayat (3) yang melarang prajurit melakukan usaha bisnis. Hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.

“Selama tidak mengganggu tugas utama, prajurit juga berhak atas akses ekonomi yang adil,” tegas Halkis.

Implikasi Hukum dan Harapan Pasca Revisi UU TNI

Dengan dikabulkannya pencabutan gugatan ini, maka Mahkamah tidak akan melanjutkan perkara ke tahap pembuktian kerugian konstitusional. Meski demikian, disahkannya UU TNI yang baru menjadi harapan tersendiri bagi reformasi di tubuh militer, khususnya terkait hak-hak prajurit dalam bidang politik, ekonomi, dan kesejahteraan. (*)

Sumber Kompas.com

 

 

 

 

 

 

Komentar