Refleksi 23 Tahun Hari Marwah Kepri: Harapan Baru untuk Pembangunan Berkelanjutan

Img 20250515 25636Tanjungpinang,sidaknews.com – Dalam rangka memperingati Hari Marwah Kepri ke-23, Yayasan BP3KR Kepri menggelar diskusi bertajuk “Refleksi Pembangunan Kepri: Menuju Kesejahteraan Berkeadilan” di Ballroom Asrama Haji Tanjungpinang, Kamis (15/5/2025). Acara yang dihadiri puluhan peserta ini menghadirkan enam pakar multidisiplin untuk membedah progres dan tantangan pembangunan di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Potensi vs Realita: Kesenjangan Pembangunan di Kepri
Diskusi menghadirkan narasumber seperti Sejarahwan Kepri Prof. Abdul Malik, Dosen UMRAH Robby Patria, dan Ketua Ikatan Forum Doktor Kepri Dr. Khodijah Ismail. Mereka menyoroti capaian ekonomi Kepri yang bertolak belakang dengan kondisi masyarakat.

Dr. Khodijah Ismail mengungkap, Penerimaan Asli Daerah (PAD) Kepri melonjak 210% pada 2025, namun kesejahteraan masyarakat di pulau terpencil masih minim. “Banyak lahan strategis di pulau kecil justru dikuasai investor asing, sehingga warga lokal tak bisa mengaksesnya,” tegasnya. Ia mendesak pemerintah tegas mengatur kepemilikan lahan untuk melindungi hak masyarakat.

Ketimpangan Ekonomi dan Ancaman Pemekaran Wilayah
Robby Patria membandingkan pertumbuhan ekonomi Kepri dengan Bangka Belitung (Babel). Meski kaya SDA, Kepri tertinggal dalam penyerapan tenaga kerja dan pemerataan APBD. “APBD Kepri 2025 mencapai Rp3,7 triliun, tetapi 70% fokus ke Batam. Jika Batam jadi provinsi sendiri, Kepri berisiko jadi daerah termiskin,” ujarnya.

Ia mendorong realokasi anggaran ke daerah lain seperti Bintan, Karimun, dan Natuna. “Batam sudah mandiri dengan APBD-nya. Saatnya daerah lain mendapat porsi lebih besar,” tambah Robby.

Ketahanan Pangan Maritim: Solusi Atasi Inflasi
Ary Satia Dharma, pakar kebijakan publik UMRAH, menekankan pentingnya ketahanan pangan maritim berbasis potensi laut. “Kepri bisa jadi lumbung pangan nasional kedua dengan mengoptimalkan hasil laut. Sayangnya, SDM dan kebijakan masih terpaku pada sektor darat,” paparnya.

Jati Diri Kepri: Belajar dari Kejayaan Kerajaan Riau-Lingga
Sejarahwan Prof. Abdul Malik mengingatkan kejayaan masa lalu Kepri di era Kerajaan Riau-Lingga, yang sukses menjaga marwah melalui penguatan sektor maritim dan batas wilayah. “Sultan punya ribuan kapal untuk menjaga kedaulatan. Sekarang, kita justru kehilangan arah dengan proyek seperti Jembatan Babin dan wacana pemekaran Anambas-Natuna yang mengikis identitas Kepri,” kritiknya.

Investasi vs Kepentingan Lokal: Kritik dari Pelaku Usaha
Pelaku usaha Alfan Suheiri menyoroti kebijakan yang kurang melibatkan pengusaha lokal. “Contohnya, proyek Jembatan Batam-Bintan tidak relevan karena status Kawasan FTZ. Pemerintah harus fokus pada pengelolaan laut dan pemberdayaan UMKM pesisir,” tegasnya.

Rekomendasi untuk Pemerintah: Kolaborasi, Transparansi, dan Prioritas Rakyat
Forum ini merekomendasikan:
1. Revisi Kebijakan Lahan: Batasi investasi asing di pulau kecil dan prioritaskan hak masyarakat lokal.
2. Pemerataan APBD: Alokasi anggaran berkeadilan untuk daerah di luar Batam.
3. Penguatan SDM Maritim: Pendidikan berbasis kelautan dan pelatihan teknologi tangkap modern.
4. Revitalisasi Budaya Bahari: Integrasikan kearifan lokal dalam pembangunan infrastruktur.

Penutup: Momentum Perubahan untuk Kepri yang Berdaulat
Diskusi ini menjadi pengingat bahwa Hari Marwah Kepri bukan sekadar seremoni, tapi momentum evaluasi kebijakan. Harapannya, Pemprov Kepri bisa menjawab tantangan dengan langkah kolaboratif, transparan, dan berorientasi pada rakyat kecil. (*)

Komentar