
Batam – Satria Nanda dulu dikenal sebagai salah satu perwira Polri yang disegani di Kota Batam. Menjabat sebagai Kasat Narkoba Polres Barelang, ia dipercaya memimpin perang melawan peredaran narkotika di wilayah perbatasan. Namun, kepercayaan itu kini hancur berantakan. Ia justru duduk di kursi pesakitan, dituntut hukuman mati karena menjual barang bukti sabu seberat satu kilogram.
Tuntutan itu dibacakan di Pengadilan Negeri Batam, Senin (26/5/2025), dalam sidang yang menyita perhatian publik. Dipimpin oleh Majelis Hakim yang diketuai Tiwik, S.H., M.Hum, jaksa menyampaikan bahwa Satria tidak hanya terlibat, tetapi turut menggerakkan jaringan peredaran narkoba dari dalam institusi kepolisian sendiri.
“Sebagai aparat penegak hukum, seharusnya ia menjadi garda terdepan dalam melindungi generasi muda dari bahaya narkotika. Namun, terdakwa justru mengkhianati sumpahnya,” ujar Jaksa Penuntut Umum dengan nada tegas, seperti dikutip dari laporan Adhyaksadigital.com.
Nama yang Hancur dalam Sekejap
Nama Satria Nanda tak lagi diasosiasikan dengan prestasi. Kini, ia dikenal sebagai simbol jatuhnya moral aparat ketika kekuasaan disalahgunakan. Dugaan keterlibatannya dalam menjual sabu milik negara tak hanya mencoreng institusi, tetapi juga mengungkap borok sistemik yang selama ini tersembunyi.
Pengusutan kasus ini bermula dari pengembangan penangkapan bandar narkoba berinisial As, yang dibekuk di kawasan Kampung Aceh, Muka Kuning, pada Juli 2024. Dari sana, terungkap keterlibatan sejumlah anggota Satresnarkoba Polresta Barelang dalam praktik kotor jual beli barang bukti.
Hingga Agustus 2024, Propam Polda Kepri menetapkan 10 oknum anggota Satresnarkoba sebagai tersangka. Semuanya dipecat, termasuk sang atasan, Satria Nanda.
Bukan Tersangka Tunggal
Satria bukan satu-satunya terdakwa yang menghadapi tuntutan berat. Dalam sidang yang sama, JPU juga menuntut hukuman mati bagi Higit Sarwo Edhi, Fadillah, dan Wan Rahmat Kurniawan. Empat terdakwa lainnya — Alex Candra, Aryanto, Ibnu Rambe, dan Jaka Surya — dituntut hukuman seumur hidup.
Sementara itu, dua terdakwa lainnya, Julkifli Simanjuntak alias Zulkifli dan Aziz Martua Siregar, dituntut 20 tahun penjara dan denda Rp3,85 miliar. Jika tak mampu membayar, mereka harus menjalani hukuman pengganti selama tujuh bulan.
Potret Kelam di Balik Seragam
Kasus ini membuka mata publik bahwa kejahatan narkotika tak hanya dilakukan oleh pengedar di jalanan, tetapi bisa tumbuh subur di balik seragam yang seharusnya melindungi rakyat. Dalam sistem yang longgar, jabatan bisa berubah menjadi alat untuk memperkaya diri, bahkan dengan mengorbankan masa depan bangsa.
Kini, masyarakat menanti vonis akhir dari Majelis Hakim. Apakah hukuman mati akan benar-benar dijatuhkan? Ataukah masih ada ruang maaf untuk pengkhianatan sebesar ini? (*)