Dituding ‘Caplok’ Wilayah, Sumut Bantah dan Tawarkan Kolaborasi dengan Aceh

Img 20250613 51331Jakarta – Polemik mengenai status administrasi empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) semakin memanas setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut. Keputusan ini menuai protes keras dari Pemerintah Aceh yang mengancam membawa kasus ini ke jalur hukum.

Akar Permasalahan
Empat pulau yang menjadi sengketa adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang (Besar), dan Pulau Mangkir Ketek (Kecil). Kedua provinsi saling mengklaim kepemilikan dengan berbagai argumen, termasuk sejarah administrasi, infrastruktur, serta data kependudukan.

Pemerintah Aceh bersikeras bahwa masyarakat di pulau-pulau tersebut telah lama menggunakan KTP Aceh, dan sejumlah fasilitas seperti dermaga, mushala, serta tugu koordinas dibangun oleh Pemprov Aceh. Sementara itu, Sumut merujuk pada hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi (2008) serta laporan resmi Indonesia ke PBB pada 2012 yang menegaskan pulau-pulau tersebut berada di bawah administrasi Sumut.

Dugaan Kepentingan Migas dan Bantahan Kemendagri
Sejumlah spekulasi muncul bahwa keputusan Kemendagri terkait dengan potensi minyak dan gas bumi (migas)** di perairan sekitar pulau. Namun, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian membantah hal ini dan menegaskan bahwa penetapan didasarkan pada kajian spasial dan administrasi wilayah, bukan kepentingan ekonomi.

Reaksi Para Pihak
1. Pemerintah Aceh: Menolak keputusan Kemendagri dan menyiapkan langkah hukum, baik ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) maupun Mahkamah Konstitusi (MK).
2. Pemerintah Sumut: Gubernur Bobby Nasution menegaskan bahwa proses penetapan telah sesuai prosedur dan menawarkan opsi pengelolaan bersama oleh kedua provinsi.
3. Kemendagri: Mendorong dialog antar gubernur untuk mencari solusi terbaik, termasuk kemungkinan kolaborasi pengelolaan wilayah.

Jalan Tengah dan Harapan Ke Depan
Menteri Tito Karnavian menekankan bahwa pemerintah pusat tidak memihak dan hanya ingin menyelesaikan sengketa secara objektif. Ia berharap kedua provinsi dapat menemukan titik temu guna menjaga stabilitas dan keharmonisan daerah.

Sementara itu, pengamat hukum tata negara menyarankan agar Kemendagri memperkuat transparansi data batas wilayah untuk mencegah konflik serupa di masa depan.

Polemik ini masih terus berkembang, dan publik menantikan apakah upaya mediasi atau jalur hukum akan menjadi solusi akhir. (*)