Fenomena Makelar Proyek: Ancaman Transparansi dan Efisiensi dalam Pengadaan Pemerintah

Img 20250615 30307
Ilustrasi, mafia proyek.

Jakarta,sidaknews.com – Praktik percaloan atau makelar proyek dalam proses lelang pengadaan barang dan jasa pemerintah semakin meresahkan. Belum dimulai secara resmi, sejumlah “aktor di balik layar” sudah bergerilya menawarkan paket proyek kepada pihak-pihak tertentu, lengkap dengan iming-iming pembagian “success fee” dan angka-angka persentase yang sudah dibicarakan sejak awal. Situasi ini bukan hanya melanggar etika, tapi juga membuka celah besar bagi praktik korupsi yang sistematis. Minggu (15/6)

Fenomena ini menghancurkan prinsip dasar pengadaan yang seharusnya mengedepankan persaingan sehat, keterbukaan, dan akuntabilitas. Saat hasil lelang sudah dapat ditebak bahkan sebelum dokumen dilepas resmi, artinya sistem telah dibajak oleh kepentingan tertentu demi keuntungan pribadi atau kelompok.

Dampak Buruk Praktik Perantara Proyek

Keberadaan calo proyek bukan sekadar gangguan teknis, tetapi telah menjadi sumber kerusakan sistemik. Berikut sejumlah dampak destruktif yang ditimbulkan:

Pemborosan Anggaran Negara
Nilai proyek menjadi tidak realistis karena harus mengakomodasi berbagai “jatah”, mulai dari broker, tim lobi, hingga pihak dalam. Hal ini menyebabkan mark-up anggaran dan berujung pada pemborosan.

Tersingkirnya Perusahaan Profesional
Perusahaan yang berintegritas dan punya kompetensi sering kali tidak memiliki ruang bersaing karena kalah oleh permainan di balik layar. Tambah Kuncus pemirhati anti korupsi di Kepri.

“Menurunnya lagi, Kualitas Proyek
Fokus bukan lagi pada kualitas pekerjaan, tetapi pada siapa yang mampu memberikan imbalan lebih besar. Hasilnya, proyek kerap berakhir buruk, tak jarang meninggalkan masalah teknis maupun hukum. “Ujarnya.

“Hilangkan Kepercayaan Publik
Masyarakat akan semakin sinis terhadap sistem pengadaan jika korupsi terselubung semacam ini terus dibiarkan.”tambahnya.

Peran Penting APH dan Masyarakat

Dalam situasi ini, peran aktif Aparat Penegak Hukum (APH) sangat krusial. Baik itu kepolisian, kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ketiganya perlu mengintensifkan pengawasan terhadap indikasi awal praktik mafia proyek.

Tak hanya menunggu laporan resmi, upaya pencegahan bisa dilakukan dari hulu – sebelum proses lelang dimulai – untuk memastikan semua tahapan berjalan sesuai aturan.

Di sisi lain, partisipasi publik dan lembaga pemantau independen juga harus diperkuat. Informasi dari masyarakat, sekecil apapun, bisa menjadi titik awal investigasi lebih dalam oleh APH.

Modus Baru: “Cek Kelayakan” hingga Jatah Lobi

Sejumlah modus operandi makelar proyek kini semakin lihai dan canggih. Salah satu caranya adalah dengan menawarkan proyek kepada perusahaan tertentu sambil memastikan apakah perusahaan itu sudah memiliki dokumen verifikasi teknis (VIT) atau belum. Jika sudah, maka akan dimulai negosiasi soal “persentase pembagian”.

Sebagai ilustrasi, proyek dengan pagu tertentu bisa langsung dipotong 10% sebagai bentuk fee awal. Setelah itu, masih ditambah potongan untuk pihak internal, tim mediasi, dan pajak. Jika dihitung secara keseluruhan, tak jarang keuntungan bersih perusahaan justru berada di ambang minus. Lantas, masih adakah ruang untuk pelaksanaan proyek yang berkualitas.

Transparansi dan integritas dalam pengadaan proyek pemerintah harus dijaga bersama. Tanpa pengawasan yang ketat dan keterlibatan aktif masyarakat, praktik makelar proyek bisa terus tumbuh dan membudaya. Saatnya semua pihak mengambil bagian dalam menciptakan sistem pengadaan yang bersih, efisien, dan berpihak pada kepentingan publik.

“Jika Anda memiliki bukti atau informasi tentang dugaan praktik semacam ini, laporkan melalui jalur resmi atau lembaga pengawas. Satu langkah kecil bisa mencegah kebocoran besar dalam keuangan negara. Tutupnya. (Red)