Skandal Pemotongan Dana Desa di Padangsidimpuan: Eks Kadis PMD Serahkan Uang Rp2,4 Miliar ke Kejati Sumut

Eks Kadis Pmd Serahkan Uang Rp24 Miliar Ke Kejati Sumut
Penitipan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara sebesar Rp. 2.462.000.000, dari Terdakwa IFS (mantan Kadis PMD Kota Padangsidimpuan.

Medan,sidaknews.com – Dugaan korupsi dana desa di Kota Padangsidimpuan kembali menyeruak setelah mantan Kepala Dinas PMD, Ismail Fahmi Siregar, mengembalikan dana senilai Rp2,46 miliar ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut), Kamis (3/7/2025). Dana tersebut merupakan bagian dari kerugian negara dalam perkara pemotongan 18 persen Alokasi Dana Desa (ADD) tahun 2023.

Penyerahan dilakukan langsung ke bagian Pidana Khusus Kejati Sumut dan diterima oleh Aspidsus Muttaqin Harahap, SH, MH. Turut hadir dalam penyerahan ini sejumlah pejabat struktural kejaksaan dan jaksa penuntut umum yang menangani perkara.

“Ini merupakan pengembalian tahap kedua dari terdakwa IFS. Sebelumnya pada 23 Juni, ia sudah menyerahkan Rp3,5 miliar,” ujar Kasi Penkum Kejati Sumut, Adre W. Ginting, SH, MH.

Total Kerugian Negara Hampir Rp6 Miliar

Dari hasil penyidikan, nilai total kerugian negara akibat pemotongan ADD oleh terdakwa mencapai Rp5.962.500.000. Uang yang telah dikembalikan oleh Ismail Fahmi Siregar kini telah disetorkan ke Rekening Pemerintah Lainnya (RPL) milik Kejati Sumut.

Perkara ini telah dinyatakan lengkap dan berkasnya sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan untuk segera disidangkan.

Modus: Perubahan Perwal Jadi Celah Korupsi

Dalam dakwaan jaksa, modus korupsi dilakukan dengan memanfaatkan perubahan Peraturan Wali Kota (Perwal) Padangsidimpuan dari No. 11 menjadi No. 22 Tahun 2023. Perubahan regulasi itu dijadikan dasar oleh terdakwa untuk memotong ADD dari tiap desa secara sepihak, tanpa laporan pertanggungjawaban yang sah.

Dua tahap pemotongan yang berhasil diidentifikasi adalah:

Tahap I: Rp348.186.641

Tahap II: Rp581.099.433

Meski sebagian dana telah dikembalikan, Kejaksaan masih mendalami apakah ada aliran dana ke pihak lain, termasuk kemungkinan adanya aktor intelektual di balik kebijakan pemotongan tersebut.

Mantan Wali Kota Belum Penuhi Panggilan Jaksa

Nama mantan Wali Kota Padangsidimpuan, Irsan Efendi Nasution, mencuat dalam penyidikan kasus ini. Ia diduga mengetahui bahkan ikut terlibat dalam pembuatan kebijakan yang membuka peluang penyimpangan. Namun hingga kini, Irsan belum hadir memenuhi dua kali panggilan dari Kejati Sumut, termasuk surat resmi tertanggal 19 Juli 2024.

Kondisi ini memicu kekecewaan publik. Pemerhati hukum, UF Hasibuan, menyebut penegakan hukum tak boleh tebang pilih.

“Kalau hanya honorer dan pejabat menengah yang dijerat, keadilan tidak akan tercapai,” ujarnya.

Dugaan “Tumbal” dan Ketimpangan Hukum

Kasus ini menuai sorotan tajam karena honorer Dinas PMD, Akhiruddin Nasution, juga ikut dijadikan terdakwa. Banyak pihak mempertanyakan, bagaimana mungkin seorang honorer bisa memiliki kuasa untuk memotong dana desa?

Advokat H. Ridwan Rangkuti, SH, MH menegaskan, “Kejaksaan harus membuka seluruh peran para pejabat yang terkait. Ada indikasi kuat bahwa honorer hanya dijadikan perisai.”

Ia juga meminta audit menyeluruh terhadap pelaksanaan Perwal No. 11 dan 22 sebagai regulasi yang diduga dijadikan tameng korupsi berjamaah.

Komitmen Kejaksaan dan Tuntutan Publik

Kajari Padangsidimpuan, Dr. Lambok M.J. Sidabutar, menyatakan bahwa Kejaksaan akan menggali fakta lebih dalam saat sidang digelar.

“Pintu untuk menetapkan tersangka tambahan masih terbuka. Semua akan dibuka di pengadilan,” ujarnya tegas.

Masyarakat sipil, pegiat hukum, dan tokoh daerah terus mendorong:

Pemanggilan ulang dan pemeriksaan mendalam terhadap mantan Wali Kota.

Penelusuran aliran dana korupsi hingga ke penerima manfaat.

Penegakan hukum yang menyeluruh, bukan hanya formalitas.

Proses Hukum Berlanjut di Tipikor Medan

Perkara ini menjadi perhatian publik di Sumatera Utara. Semua mata kini tertuju pada Pengadilan Tipikor Medan, tempat seluruh fakta akan dibuka. Kejati Sumut juga mengimbau masyarakat untuk mengawal proses hukum agar keadilan tak berhenti di jalan tengah.

Apakah praktik “cuci tangan” pejabat akan terbongkar? Ataukah kasus ini akan menjadi catatan gelap baru di tengah upaya pemberantasan korupsi di daerah?. (Sabar)

 

 

 

Komentar