HONG KONG,Sidaknews.com – Survei Atradius Payment Practices Barometer 2025 menunjukkan pandangan pelaku usaha di Asia terbelah soal prospek perilaku pembayaran pelanggan bisnis ke bisnis (B2B) dalam beberapa bulan ke depan. Sekitar separuh responden memperkirakan kondisi akan stabil, sementara sisanya khawatir risiko gagal bayar akan meningkat.
Survei yang dilakukan pada paruh kedua kuartal II 2025 ini melibatkan perusahaan di Tiongkok, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Singapura, Taiwan, dan Vietnam. Hasilnya mencatat ketahanan sektor korporasi di tengah meningkatnya kerentanan finansial akibat ketidakpastian kebijakan perdagangan global, keterbatasan likuiditas, serta memburuknya perilaku pembayaran B2B.
Temuan utama survei:
44% penjualan kredit B2B terdampak keterlambatan pembayaran.
Rata-rata utang tak tertagih mencapai 5%, angka yang dinilai cukup memengaruhi profitabilitas.
Penyebab keterlambatan: masalah likuiditas pelanggan, proses pembayaran yang lambat, sengketa faktur, dan gangguan rantai pasok.
60% perusahaan memperluas pemberian kredit dagang untuk mempertahankan loyalitas pelanggan, namun tetap menjaga rata-rata tempo pembayaran di 48 hari.
54% penjualan B2B dilakukan secara kredit.
Sumber pendanaan utama selama 12 bulan terakhir: pinjaman bank, pembiayaan faktur, dan dana internal.
Meski proyeksi perputaran persediaan dan days sales outstanding (DSO) bervariasi, mayoritas responden sepakat bahwa ketidakpastian perdagangan, beban kepatuhan regulasi, dan tuntutan keberlanjutan akan menjadi tantangan utama ke depan.
Managing Director Atradius Asia, Eric den Boogert, mengatakan perusahaan menghadapi tekanan akibat meningkatnya utang macet, ketidakpastian perdagangan, dan tuntutan keberlanjutan. “Meski demikian, ada optimisme hati-hati. Banyak perusahaan mulai menyesuaikan strategi, menjaga likuiditas, dan mengelola risiko, termasuk melalui outsourcing manajemen risiko kredit untuk melengkapi upaya internal,” ujarnya. (*)