SMSI: “Kota Ini Tak Akan Kuat Tanpa Kolaborasi dan Keterbukaan Informasi”

Tanjungpinang – Tepat pada 17 Oktober 2025, Kota Tanjungpinang genap berusia 24 tahun sebagai kota otonom. Sebagai ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang menyimpan sejarah panjang dalam perjalanan pemerintahan, ekonomi, dan kebudayaan Melayu di wilayah barat Indonesia.
Namun di usia hampir seperempat abad ini, banyak kalangan menilai masih terdapat berbagai hal yang perlu dibenahi agar Tanjungpinang mampu tumbuh sebagai kota maju yang tetap berakar pada identitasnya sebagai pusat peradaban Melayu.
Dari Kota Administratif ke Kota Otonom
Tanjungpinang resmi menjadi kota otonom pada 17 Oktober 2001 melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2001. Sebelumnya, Tanjungpinang berstatus kota administratif di bawah Kabupaten Kepulauan Riau. Perubahan status ini memberi ruang bagi Tanjungpinang untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri, mulai dari pembangunan ekonomi, sosial, hingga kebudayaan.
Sejak saat itu, wajah Tanjungpinang perlahan berubah. Pusat-pusat ekonomi mulai tumbuh, pelabuhan dan pasar tradisional bergeliat, serta jalur perdagangan antarpulau semakin aktif. Namun di balik geliat tersebut, masih tersisa kesenjangan antara ambisi pembangunan dan realitas sosial masyarakat.
Perspektif Ekonomi: Antara Potensi dan Ketergantungan
Secara ekonomi, Tanjungpinang memiliki potensi besar sebagai gerbang perdagangan dan jasa di Kepulauan Riau. Posisi strategisnya di jalur pelayaran internasional menjadikannya simpul penting dalam konektivitas antara Batam, Bintan, serta negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Namun demikian, perkembangan ekonomi kota ini masih sangat bergantung pada sektor pemerintahan dan konsumsi domestik. Sektor industri kecil dan menengah (IKM) serta pariwisata berbasis budaya Melayu dinilai belum dikelola secara maksimal.
“Kita punya potensi besar di bidang pariwisata sejarah dan budaya Melayu, tetapi belum dikelola secara terintegrasi dengan sektor ekonomi kreatif,” ujar Ketua SMSI Tanjungpinang, Rahmat Nasution, Jumat (17/10/2025).
Rahmat menilai, pemerintah kota perlu membangun ekosistem ekonomi berbasis kemandirian lokal.
“Tanjungpinang tidak boleh hanya menjadi kota birokrasi. Ia harus menjadi pusat pergerakan ekonomi rakyat — tempat tumbuhnya pelaku UMKM, media kreatif, dan wirausaha muda,” tambahnya.
Perspektif Sosial: Identitas dan Partisipasi
Dalam dua dekade terakhir, Tanjungpinang tumbuh sebagai kota yang heterogen. Masyarakat Melayu, Tionghoa, Bugis, dan etnis lainnya hidup berdampingan. Namun di tengah arus modernisasi, muncul tantangan baru berupa perubahan nilai sosial dan menurunnya partisipasi publik dalam pembangunan kota.
Menurut sejumlah pengamat, masih banyak warga yang merasa belum dilibatkan dalam pengambilan keputusan publik. Selain itu, kesenjangan antara pusat kota dan wilayah pesisir menjadi catatan tersendiri.
“Pemerintah perlu membuka ruang dialog dan mendekatkan kebijakan ke masyarakat akar rumput. Kolaborasi sosial sangat penting agar warga merasa memiliki kota ini,” ujar Rahmat.
Perspektif Kebudayaan Melayu: Jiwa Kota yang Tak Boleh Hilang
Sebagai pusat kebudayaan Melayu, Tanjungpinang memiliki warisan sejarah yang kuat — terutama di Pulau Penyengat, yang dikenal sebagai pusat lahirnya peradaban dan sastra Melayu modern. Namun, nilai-nilai budaya tersebut mulai tergerus oleh gaya hidup modern serta berkurangnya minat generasi muda terhadap akar budayanya.
“Tanjungpinang adalah jantung Melayu, bukan sekadar kota administratif. Setiap pembangunan harus berlandaskan nilai-nilai Melayu — sopan, terbuka, dan beradab. Kita bisa modern tanpa kehilangan jati diri,” tegas Rahmat.
SMSI: “Kota Ini Tak Akan Kuat Tanpa Kolaborasi dan Keterbukaan Informasi”
Momentum Hari Jadi ke-24 Tanjungpinang juga menyisakan catatan kritis. Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Tanjungpinang yang selama ini menjadi mitra strategis dalam penyebaran informasi publik, tidak diundang secara resmi dalam perayaan tersebut.
Rahmat menilai hal itu menunjukkan kurangnya komunikasi dan penghargaan terhadap peran media dalam pembangunan daerah.
“Kami bukan menuntut seremoni, tapi makna kolaborasi. Media adalah pilar keempat demokrasi yang membantu pemerintah membangun kesadaran publik. Kalau media dikesampingkan, yang rugi bukan SMSI, tapi kota ini sendiri,” ujarnya tegas.
Kendati demikian, SMSI tetap berkomitmen menjadi mitra kritis dan konstruktif bagi pemerintah kota. Rahmat menegaskan pihaknya akan terus mendorong sinergi yang sehat antara pemerintah, masyarakat, dan media untuk mewujudkan Tanjungpinang yang transparan, inklusif, dan berdaya saing.
Menuju Kota Madani yang Berkarakter
Dua puluh empat tahun bukan usia muda bagi sebuah kota otonom. Namun, perjalanan Tanjungpinang masih panjang. Tantangan terbesarnya bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga membangun karakter kota yang berjiwa Melayu dan berdaya ekonomi lokal.
“Kota ini akan maju jika pemerintah terbuka, masyarakat aktif, dan media diberi ruang menjalankan fungsinya. Itu baru namanya Tanjungpinang madani,” tutup Ketua SMSI Tanjungpinang. (*)