Kejayaan Smokel Tanjungpinang dan Jejak Penyelundupan di Kepri yang Tak Pernah Sepi

Kapal Kargo, ilustrasi.

Tanjungpinang,Sidaknews.com – Aktivitas smokel atau perdagangan gelap di Kepulauan Riau, khususnya Tanjungpinang, pernah mencatat sejarah panjang dalam perekonomian masyarakat pesisir. Praktik yang dimulai sekitar tahun 1970-an hingga bertahan lebih dari empat dekade ini sempat menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat lokal, sebelum perlahan padam pada sekitar tahun 2017.

Pada masa jayanya, barang-barang seperti celana dan baju jeans bermerek dari Singapura serta bawang putih menjadi komoditas utama. Barang itu diselundupkan menggunakan sampan kecil menuju kapal besar seperti Kapal Tampomas, bahkan sebagian menggunakan kapal ikan ekspor yang rutin keluar-masuk dari Singapura dan Malaysia.

Seorang warga Tanjungpinang, sebut saja Budi, mengingat masa itu sebagai periode emas.

“Inang-inang atau orang yang ikut mengangkut barang ke kapal bisa sekali kerja dapat uang untuk kebutuhan satu minggu. Tanjungpinang saat itu dikenal sampai Asia Tenggara karena jalur niaga ‘smokel’-nya,” ujarnya, Sabtu (1/11).

Tampomas Tenggelam, Jalur Smokel Mulai Berubah

Setelah Kapal Tampomas tenggelam pada tahun 1981, jalur penyelundupan mulai berubah. Kapal Pelni seperti Umsini dan Siguntang menggantikan peran tersebut, meski tak berlangsung lama. Namun, geliat smokel tetap bertahan, bahkan makin bervariasi, mulai dari rokok ilegal, elektronik, tekstil, hingga sembako dari negara tetangga.

Smokel di Batam, Karimun, dan Jalur Laut ‘Tikus’

Tidak hanya Tanjungpinang, aktivitas penyelundupan juga marak di Batam, Bintan, dan Karimun. Aparat kerap menangkap kapal cepat tanpa dokumen membawa minuman keras, rokok tanpa bea cukai, BBM subsidi, hingga narkotika jenis sabu.

Beberapa kasus yang pernah mencuat di Kepri antara lain:

Penyelundupan sabu dari Johor dan Singapura ke Batam menggunakan kapal kayu dan speedboat.

Kasus penyelundupan baby lobster, bawang putih, dan pakaian bekas melalui pelabuhan tidak resmi di Bintan dan Karimun.

Penangkapan kapal ikan yang memanfaatkan izin ekspor untuk membawa barang konsumsi dan elektronik ilegal ke Tanjungpinang.

Namun, menurut warga lain bernama Apek, semua berubah sekitar delapan tahun terakhir.

“Barang dari Singapura tidak lagi boleh masuk, kapal-kapal kecil di Tanjungpinang tidak ada aktivitas. Gubernur dan instansi pemerintah waktu itu seperti tutup mata. Akhirnya kapal banyak dijual rugi,” ungkapnya.

Dari Sumber Rezeki Jadi Sejarah

Investigasi lapangan menyebutkan, ratusan kapal milik toke atau pemodal di Tanjungpinang kini tak lagi beroperasi. Sementara Batam dan Karimun tetap menjadi jalur aktif perdagangan lintas negara, baik legal maupun ilegal.

Meski dianggap melanggar hukum, tak dapat dipungkiri bahwa smokel pernah memberikan harapan ekonomi bagi:

Buruh pelabuhan, Tukang sampan, Inang-inang (pengangkut barang perempuan), dan Kapal ikan tradisional

Kini, kejayaan itu tinggal cerita, meski di beberapa titik jalur laut tikus diyakini masih aktif secara sembunyi-sembunyi. (Bersambung)
(Redaksi)

Komentar