Kenaikan Retribusi Pasar Dinilai Tak Rasional, Picu Protes Pedagang di Berbagai Daerah

Agus Yusuf Ahmadi

Adv. Agus Yusuf Ahmadi, S.H., M.H., C.Me., CLA., CFTR.

Jakarta,sidaknews.com – Kebijakan kenaikan retribusi pasar tradisional di sejumlah wilayah Indonesia menuai kritik tajam dari pelaku ekonomi rakyat. Direktur Eksekutif Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), Adv. Agus Yusuf Ahmadi, S.H., M.H., C.Me., CLA., CFTR., menegaskan bahwa kebijakan ini menunjukkan kecenderungan arogan dan mengabaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat saat ini.

Dalam forum diskusi hukum dan ekonomi rakyat yang digelar di Jakarta Pusat, Jumat (20 Juni 2025), Agus Yusuf mengungkapkan bahwa banyak pedagang pasar tradisional mengeluhkan kenaikan retribusi yang melonjak drastis, bahkan hingga lebih dari 300 persen di beberapa daerah.

“Kenaikan ini terjadi tanpa melibatkan pedagang sebagai pihak terdampak langsung. Padahal, musyawarah dan transparansi adalah kunci agar kebijakan publik tidak menimbulkan keresahan,” ujarnya.

Pedagang Tertekan di Tengah Sepinya Ekonomi Pasar

Kondisi pasar yang lesu akibat menurunnya daya beli masyarakat menjadi alasan utama pedagang menolak kenaikan retribusi. Minimnya pembeli, menurunnya perputaran barang, dan beban operasional yang tetap tinggi menjadi tantangan besar. Dalam situasi seperti ini, kebijakan menaikkan retribusi justru dianggap kontraproduktif.

Beberapa pedagang bahkan mengaku mendapat intimidasi jika tidak mampu membayar retribusi baru. Tindakan seperti pengusiran, penyegelan kios, hingga ancaman diganti oleh calon pedagang lain menjadi fenomena yang dilaporkan oleh banyak pelaku usaha mikro di pasar tradisional.

Pemerintah Daerah Diminta Hindari Arogansi Kebijakan

Agus menekankan pentingnya pemerintah daerah—baik kabupaten/kota maupun desa—untuk bersikap rasional dan merujuk pada regulasi resmi seperti Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Bupati (Perbup), atau Peraturan Kepala Desa (Perkades). Ia mengingatkan bahwa setiap penetapan tarif retribusi harus memiliki dasar hukum yang jelas dan adil.

“Jangan sampai retribusi berubah menjadi pungutan liar hanya karena tidak sesuai regulasi. Apalagi kalau standar kenaikan didasarkan pada nilai emas atau indikator yang tidak relevan dengan kondisi pasar,” tegasnya.

Seruan untuk Regulasi Nasional yang Berkeadilan

Melihat gejolak yang terus meluas, KERIS mendorong pemerintah pusat segera menyusun regulasi nasional untuk standarisasi sistem retribusi pasar. Aturan ini diharapkan menjadi acuan baku agar tidak terjadi tumpang tindih atau penyimpangan dalam implementasi di tingkat daerah.

“Retribusi bukan pungli. Kita harus kawal bersama agar sistem ini tidak disalahgunakan dan tetap berpihak pada kepentingan rakyat kecil. Keadilan dan keberlanjutan ekonomi rakyat harus menjadi prioritas utama,” tambahnya.

Tim Advokasi Hukum dan HAM KERIS pun menyatakan siap memberikan pendampingan hukum, edukasi regulasi, serta mediasi jika dibutuhkan oleh pedagang pasar yang terdampak kebijakan sepihak.

Harapan untuk Pasar Tradisional yang Berdaya

Pasar tradisional selama ini menjadi nadi ekonomi rakyat. Oleh karena itu, segala kebijakan yang menyangkut kehidupan pelaku pasar harus mempertimbangkan kondisi riil dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Dengan kolaborasi yang sehat antara pemerintah dan masyarakat, roda perekonomian lokal bisa terus berputar dan memberi manfaat bagi kesejahteraan bersama. (*)

Adv. Agus Yusuf Ahmadi, S.H., M.H., C.Me., CLA., CFTR.

– Advokat, Mediator Hukum, Auditor Hukum, dan Konsultan Hukum Profesional
– Direktur eksekutif Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS)
– Ketua Umum DPN SAPU JAGAD
– Koordinator Tim Advokasi Hukum dan HAM
– Wakil Ketua Umum APKLI
– Wartawan Utama, Aliansi Kajian Jurnalis Independen Indonesia.
– Pusat Mediasi Indonesia UGM
– Mediator Masyarakat Indonesia
– Asosiasi Auditor Hukum Indonesia

 

 

 

 

 

Komentar