Tanjungpinang,sidaknews.com – Dalam rangka memperkuat komitmen terhadap penegakan hukum yang lebih humanis dan berakar pada nilai-nilai lokal, Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau (Kejati Kepri) resmi menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) bersama Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan DPRD Kepri terkait penanganan pelaku tindak pidana melalui pendekatan keadilan restoratif (Restorative Justice).
Penandatanganan MoU yang berlangsung di Gedung Daerah Provinsi Kepri ini melibatkan Kepala Kejati Kepri Teguh Subroto, S.H., M.H., Gubernur Kepri H. Ansar Ahmad, S.E., M.M., serta Ketua DPRD Kepri H. Iman Sutiawan, S.E. Dokumen kerja sama tersebut tercatat dengan nomor: B-2014/L.10/Cp.2/05/2025, 120.23/KDH.160/NK-03/2025, dan 160/2/MOU-DPRD/V/2025.
MoU ini menjadi pijakan strategis dalam mendukung penanganan perkara pidana ringan melalui jalur damai berbasis pendekatan keadilan restoratif, terutama bagi warga Kepulauan Riau. Fokus utama kerja sama ini mencakup penyediaan sarana rehabilitasi, pelatihan keterampilan kerja, pembinaan kewirausahaan, hingga fasilitasi reintegrasi sosial bagi pelaku.
Dalam sambutannya, Kajati Kepri menegaskan bahwa kerja sama ini bukan hanya sekadar dokumen seremonial, melainkan langkah konkret membangun sinergi antar lembaga demi mewujudkan penegakan hukum yang mengutamakan kemaslahatan masyarakat.
“Pendekatan restoratif memberi peluang kepada pelaku tindak pidana ringan—khususnya yang terjerat karena persoalan sosial-ekonomi—untuk mendapatkan rehabilitasi sosial, pelatihan, pendidikan, dan dukungan ekonomi agar bisa kembali produktif di masyarakat,” tegas Kajati.
Sementara itu, Ketua DPRD Kepri menyatakan dukungan penuh terhadap inisiatif ini sebagai bentuk inovasi dalam penegakan hukum yang lebih berpihak pada pemulihan dan keadilan sosial.
“Langkah ini sejalan dengan arah kebijakan hukum nasional dalam mewujudkan reformasi hukum, seperti yang tercantum dalam visi Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka,” ungkapnya.
Gubernur Ansar Ahmad menambahkan bahwa penerapan restorative justice idealnya tidak hanya menyentuh aspek hukum, tetapi juga harus disertai intervensi sosial yang berkelanjutan. Ia mendorong penyusunan langkah teknis yang konkret, termasuk pelatihan keterampilan, bantuan usaha, dan dukungan psikososial pasca penyelesaian perkara.
“Kita perlu memikirkan strategi komprehensif agar masyarakat tidak lagi terdorong melakukan pelanggaran hukum akibat tekanan sosial dan ekonomi,” tuturnya.
Dengan penandatanganan MoU ini, Provinsi Kepulauan Riau diharapkan mampu menghadirkan sistem peradilan restoratif yang inklusif, berkeadaban, dan menjadi role model nasional dalam penyelesaian perkara secara damai dan berorientasi pada pemulihan. (*)