
Jakarta,Sidaknews.com – Tiga guru besar bertemu secara hangat dan penuh makna pada Kamis( 23/09/2025). Prof. Dr. Ir. Gimbal Doloksaribu, Ketua Umum Persatuan Profesor /Guru Besar Indonesia (PERGUBI), Prof. Hoga Saragih, dan Prof. Dr. Rudy Harjanto dari LSPR Institut Komunikasi dan Bisnis, duduk berdampingan, bukan hanya sebagai akademisi, tetapi sebagai tokoh yang berkomitmen pada kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia. Dalam perbincangan yang akrab namun reflektif, mereka membahas isu penting yang kini menjadi perhatian global: perubahan iklim dan tanggung jawab ilmiah Indonesia.
“Perubahan iklim bukan sekadar statistik atau grafik, tapi menjadi jantung kehidupan, pangan, air, kesehatan, budaya, dan masa depan anak cucu kita,” ujar Prof. Rudy. Sebagai negara kepulauan dengan kekayaan hayati dan budaya yang luar biasa, Indonesia kini berada di garis depan krisis iklim. Gelombang panas, kenaikan permukaan laut, kekeringan, dan bencana ekologis tidak lagi menjadi prediksi masa depan, tetapi kenyataan yang telah hadir di tengah masyarakat. Dalam konteks ini, para guru besar menegaskan bahwa keilmuan tidak boleh menjadi penonton.
Dari pertemuan tersebut, disepakati pembentukan Satgas Lingkungan Berkelanjutan di bawah Persatuan Guru Besar Indonesia (PGBI). Satgas ini bukan sekadar struktur organisasi tambahan, melainkan gerakan keilmuan nasional yang berpijak pada sains, nilai kemanusiaan, dan tanggung jawab moral terhadap bumi. “Gerakan ilmiah harus hadir di garis depan perubahan. Tanpa ilmu, aksi iklim hanya akan menjadi slogan,” tegas Prof. Hoga.
Satgas Lingkungan Berkelanjutan akan berperan sebagai ruang koordinasi dan advokasi ilmiah untuk mendukung komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement dan Sustainable Development Goals (SDG) 13: Climate Action. Melalui wadah ini, para guru besar akan mengarusutamakan isu perubahan iklim dalam kurikulum pendidikan tinggi, penelitian strategis, serta pengabdian masyarakat.
Menurut para guru besar, perubahan iklim bukan semata urusan ahli lingkungan. Isu ini juga merambah bidang teknologi, hukum, ekonomi, sosial, hingga budaya.
Bagi Prof. Gimbal, aspek budaya pun memiliki peran krusial. “Perubahan iklim juga mengancam warisan sosial-budaya kita: dari sistem pangan tradisional hingga kearifan lokal. Ini bukan sekadar tentang bertahan, tapi tentang menjaga jati diri bangsa,” kata Prof. Gimbal.
Karena itu, Satgas Lingkungan Berkelanjutan akan memperkuat jejaring kolaboratif antara kampus, pemerintah, masyarakat sipil, dan dunia usaha. Lebih jauh lagi, Satgas ini diharapkan memperkuat diplomasi sains Indonesia di tingkat global, menjadikan Indonesia bukan hanya negara terdampak, tetapi juga pemimpin moral dan ilmiah dalam aksi iklim dunia.
Beberapa langkah awal yang disepakati dalam pembentukan Satgas Lingkungan Berkelanjutan meliputi pembentukan Tim Inisiatif Guru Besar sebagai penggerak utama gerakan ilmiah ini. Selanjutnya, dilakukan penyusunan Rencana Aksi Kerja Lima Tahun (Satgas Climate & Sustainability Roadmap) sebagai panduan strategis dalam menjalankan program-program keberlanjutan.
Satgas juga akan menjalin kemitraan strategis untuk memperkuat jejaring dan kredibilitas ilmiah di tingkat nasional maupun global, seperti dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), United Nations Environment Programme (UNEP), serta UNESCO.
Selain itu, direncanakan pengembangan Climate Knowledge Hub yang berfungsi sebagai pusat pengetahuan ilmiah dan literasi publik nasional terkait perubahan iklim dan keberlanjutan lingkungan.
Pertemuan tersebut ditutup dengan semangat bersama bahwa aksi iklim adalah amanah ilmu pengetahuan. Para guru besar menegaskan bahwa keberlanjutan bukan hanya pilihan, tetapi keharusan sejarah dan moral bangsa.
“Aksi terhadap perubahan iklim adalah keharusan ilmiah sekaligus moral; bukan pilihan, melainkan tanggung jawab,” pungkas Prof. Rudy. (***)